Rakyat
Cerpen Idwar Anwar
"Sebagai rakyat, aku hanya berharap semoga saja setelah menjadi tangga, kita ini tidak dilupakan. Setelah orang-orang yang naik dan duduk di atas kursi yang empuk, tidak lupa bahwa untuk mencapai tempat di atas tersebut, mereka harus melalui tangga. Ya, minimal pelihara baik-baiklah tangga itu, jangan hanya ketika ingin di pakai, baru dilirik," ujar Dogel saat aku baru saja tiba dan duduk di dalam warung Daeng Tima, dibawah pohon rindang dipinggir jalan.
Dogel temanku yang selama ini kukenal sebagai orang yang sangat masa bodoh dengan politik, tiba-tiba begitu peduli dengan yang namanya politik."Gel, Gel, maksud kamu itu apa, pakai kata tangga-tangga segala dan lagian buat apa juga kita bicara masalah politik," timpalku, sambil memperbaiki duduk dan seperti biasa, memesan segelag kopi pahit.
Selama ini aku memang sangat tidak peduli dengan politik. Tidak peduli siapa yang akan jadi Presiden, menteri, anggota MPR/DPR atau segala tetek bengek pemerintahan. Mending jadi rakyat biasa. Menjadi rakyat sangat mudah. Tak perlu melalui prosedur macam-macam. erbeda dengan ABRI, atau ketika ingin menjadi pejabat pemerintah atau anggota DPR/MPR, semuanya arus melalui banyak seleksi. Ya, sekali lagi menjadi rakyat memang mudah dan tetap langgeng. Coba, mana ada yang disebut mantan atau bekas rakyat.
"Begini," Dogel kembali membuka percakapan, "Pemilihan umum kan sudah selesai. Dan kamu tahu pemilu itu gunanya untuk apa. Kan untuk memilih wakil-wakil kita yang natinya akan duduk di kursi legislatif. Itu berarti rakyat, ya kita-kita inilah, telah dijadikan tangga oleh orang-orang pintar. Ya, bahasa kerennya, para politisi. Bagus kalau mereka kita kenal, kalau tidak! Dan lebih bagus lagi kalau suara kita-kita ini, setelah mereka duduk di kursi empuk, mau di dengar." Dogel begitu serius menjelaskan. Diteguknya segelas kopi yang berada di depannya, dan satu demi satu pisang goreng yang dipesannya meluncur dengan mulus ke dalam mulutnya.
Daeng Tima, si empunya warung, hanya berdiri terbengong. Dogel tiba-tiba begitu lain. Saya sebagai teman yang sangat mengenalnya juga ikut terbengong.
"Bu, tambah pisang gorengnya." Dogel kembali menambah pisang goreng yang telah habis di piringnya, sembari memperbaiki duduknya, ia kembali berkomentar.
"Kamu tahu," ucapnya dengan mimik serius, "Selama puluhan tahun suara kita dibungkam. Jeritan kita hanya dianggap angin lalu. Kita tak pernah mau didengarkan. Apa kita ini mau terus-terusan diperlakukan seperti itu? Mikir dong, kamu ini jadi rakyat sekarang harus bersikap tegas. Sekarang kan era keterbukaan, era reformasi. Kita tidak boleh takut."
Sejenak aku hanya terdiam dan tiba-tiba menjadi sadar. Dogel memang benar. Rakyat, yang selama ini aku anggap menyenangkan, ya, ternyata hanyalah sepotong kata yang tak memiliki makna bagi yang menyandangnya. Kata-kata itu pula yang sering terdengar dan mengiang-ngiang digendang telinga. Banyak yang selalu mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Mereka sering mengelu-elukan rakyat, namun dibalik itu mereka sebenarnya hanya memanfaatkan rakyat.
"Bagaimana, kamu setuju dengan ucapanku," tanyanya tiba-tibamengagetkanku."Ya, ya.....Lantas apa yang harus kita perbuat?".
"Kamu ini benar-benar bodoh. Ya, kita harus menuntut orang-orang yang telah menjadikan kita tangga. Jangan mentang-mentang mereka telah mendapatkan posisi yang empuk, lantas melupakan kita."
"Ya, kamu benar Gel," ucapku mulia bersemangat, "Selama ini kita memang hanya dianggap barang mainan oleh elit-elit politik dan orang-orang gede, yang dipakai hanya untuk mendapatkan kesenangan."
"Lalu, kalian mau berbuat apa. Apa mau membuat kekacauan, agar kondisi perekonomian kita jadi amburadul lagi. Harga-harga pada naik dan dapur tidak dapat berasap lagi dengan teratur," timpal Daeng Tima yang sedari tadi hanya diam.
"Tidak begitu." Dogel kembali buka mulut, "Kita ini ingin menuntut hak kita dan sekaligus mereka sebagai wakil- wakil kita di legislatif, bukan membuat kerusuhan."
"Dogel benar, kita ini rakyat biasa yang selama ini selalu diperlakukan semena-mena. Rakyat, yang bagaimanpun besarnya atau meski bersatu akan menjadi sebuah kekuatam besar, ternyata masih berada dalam golongan yang selalu tersingkirkan. Lihat saja di kota-kota besar, banyak pengemis, pedagang asongan atau mereka yang hidup di gubuk-gubuk dan kawasan-kawasan kumuh. Mereka tidak pernah diperhatikan, bahkan diusir dan digusur dengan paksa. Mereka semuanya rakyat. Sama seperti kita."
"Bukan itu saja," sela Dogel, "Lihat di desa-desa, disana banyak petani-petani bodoh miskin yang padinya selalu kebanjiran atau selalu kekeringan. Belum lagi setiap bulannya mereka harus membayar pajak, dan terkadang juga harus merelakan tanahnya dengan harga murah hanya untuk dibuat proyek orang-orang gede. Kalau tidak mau mereka juga digusur dan diusir dengan paksa. Semua itu juga rakyat."
"Memang begitulah daeng," timpal Daeng Tima yang juga tak mau kalah, "Kita ini sebenarnya kelompok yang terbesar dalam suatu negara atau pemerintah, tetapi selalu menjadi sasaran kebiadaban. Saat perang, kita-kita ini, rakyat yang sengsara. Di saat damai, rakyat juga yang menjadi sasaran kebiadaban orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ya, digusurlah, ditipulah, dan masih banyak lagi tindakan orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang sangat merugikan rakyat, seperti kita-kita ini."
"Jadi apa yang harus kita perbuat? Selama ini kan suara kita tak pernah didengarkan," tanyaku sedikit bingung.
Aku begitu bimbang. Kita memang harus menuntut sebagai orang yang terwakili. Tapi, kita ini rakyat yang dalam definisi kaum rakyat sendiri adalah orang-orang yang tidak banyak memberikan andil atau peran dalam suatu negara atau sistem pemerintahan. Ya, kita tidak banyak punya pilihan, kecuali menurut.
Rakyat, ya, sebagian dari kita ini memang masih identik dengan kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, sering dimarginalkan dan selalu menjadi korban dari kebuasan orang-orang elit atas yang selalu dikelilingi dengan segala bentuk kemewahan yang tak pernah merasakan penderitaan seperti yang kita rasakan. Ya, mereka tak perlu repot-repot mencangkul dan menjadi bulan-bulanan sinar matahari yang begitu membakar kulit.
Ya, sekali lagi, kita ini memang rakyat. Kita tak bisa melakukan protes mengapa kita menjadi rakyat, apalagi harus menolak menjadi rakyat.
Sebagai rakyat, kita ini sebenarnya juga begitu lugu. Meski berulang kali dijanji dan dibohongi, kita masih tetap ramah, setia dan hormat, serta tetap menurut dengan penuh keikhlasan, plus ketabahan yang sangat besar.
"Kenapa diam saja? Kita ini harus berpikir. Ini menyangkut hak kita yang selama ini diinjak-injak."
Aku tetap terdiam. Entahlah, apakah suara atau tuntutan kita ini nantinya akan mau didengarkan atau tidak? Yang jelas, suara rakyat selama ini memang selalu dibungkam dan dianggap angin lalu. Apakah rakyat sekarang sudah punya kekuatan, meski secara kuantitatis memang sangat besar?
Sebagai rakyat, kita ini memang selalu dibohongi. Setiap kampanye semua partai mengeluarkan janji-janji akan memberdayakan rakyat. Peningkatan pembangunan disegala bidang, perbaikan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan masih banyak lagi janji-janji yang dilontarkan untuk mengambil hari rakyat, agar dalam pemilu nanti rakyat akan beramai-ramai memilih partainya. Tapi, apa yang terjadi, semua janji-janji yang dihembuskan hanya lip servis. Setelah partai mereka memang yang dilakukan pertama kali, bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk memperkaya diri. Dan rakyat, ya kita-kita ini, dilupakan begitu saja.
"Atau begini," ujar Dogel penuh semangat. Ia pun mendekatkan tubuhnya didekatku, "Bagaimana kalau kita mengirim surat kepada ketua DPR/MPR yang terpilih, kemudian kita tembuskan ke Presiden yang terpilih, dan sebar ke seluruh rakyat dinegeri ini dan jangan lupa tembusan ini kita kirim juga kepada Tuhan."
"Surat apa dan kenapa harus ada tembusan kepada Presiden, apalagi kepada Tuhan? Kamu ini ada-ada saja, yang masuk akal dong."
"Ya, surat peringatan. Agar dalam menjalankan tugasnya Presiden dan anggota MPR/DPR nanti tidak lupa dengan janji-janji kepada rakyatnya, rakyat yang diwakilinya. Jangan mentang-mentang sudah mendapatkan kedudukan, lantas kita-kita ini dilupakan. Dan juga supaya rakyat juga masih tetap mengingat janji-janji yang telah mereka terima. Bagaimana?"
"Saya setuju," teriak Daeng Tima."Tapi bagaimana dengan surat tembusan kepada Tuhan," tanyaku agak heran.
"Ya, itu kalau nanti surat kita hanya dibuang ditempat sampah dan tidak dibaca sama sekali. Ya, biarlah Tuhan yang membaca dan mendengarkan keluhan kita. Atau kita kirim saja ke kebun binatang, biar binatang-binatang yang ada disana yang membaca surat kita. Siapa tahu mereka akan merealisasikan keinginan-keinginan kita."
Begitulah, kami telah sepakat untuk membuat surat peringatan. Lantas, kami berdua pun pulang untuk mempersiapkan konsep surat yang akan dikirim. Ya, aku hanya berdoa semoga saja kali ini suara rakyat seperti kami, mau didengarkan oleh orang-orang yang nantinya akan menjadi wakil kami di lembaga legislatif dan duduk di pemerintahan atau yang akan memimpin negeri ini. Sebab selama ini, sebagai rakyat, mungkin hanya satu yang sedikit melegakan, bahwa kami, rakyat masih juga diperlukan meski hanya setiap lima tahun. Ya, minimal setiap pemilihan umum.
Ujungpandang, 13 Juni 1999